A. Keadaan Geografis dan Demografis
Sulawesi Selatan adalah sebuah provinsi
di Indonesia, yang terletak di bagian selatan Sulawesi. Ibu kotanya
adalah Makassar, dahulu disebut ”Ujung pandang”. Sampai dengan Juni
2006, jumlah penduduk di Sulawesi Selatan terdaftar sebanyak 7.520.204
jiwa, dengan pembagian 3.602.000 laki-laki dan 3.918.204 orang perempuan
dan memiliki relief berupa jazirah-jazirah yang panjang serta pipih
yang ditandai fakta bahwa tidak ada titik daratan yang jauhnya melebihi
90 km dari batas pantai. Kondisi yang demikian menjadikan pulau Sulawesi
memiliki garis pantai yang panjang dan sebagian daratannya
bergunung-gunung.
Provinsi Sulawesi Selatan terletak di
0°12′ – 8° Lintang Selatan dan 116°48′ – 122°36′ Bujur Timur. Luas
wilayahnya 62.482,54 km². Provinsi ini berbatasan dengan Sulawesi Tengah
dan Sulawesi Barat di utara, Teluk Bone dan Sulawesi Tenggara di timur,
Selat Makassar di barat, dan Laut Flores di selatan.
Kombinasi ini meghamparkan alam yang
mempesona dipandang baik dari daerah pesisir maupun daerah ketinggian.
Sekitar 30.000 tahun silam, pulau Sulawesi telah dihuni oleh manusia.
Peninggalan peradaban di masa tersebut ditemukan di gua-gua bukit kapur
daerah Maros kurang lebih 30 km dari Makassar, ibukota Propinsi Sulawesi
Selatan. Peninggalan prasejarah lainnya yang berupa alat batu peeble
dan flake serta fosil babi dan gajah yang telah punah, dikumpulkan dari
teras sungai di Lembah Wallanae, diantara Soppeng dan Sengkang, Sulawesi
Selatan.
Pada masa keemasan perdagangan
rempah-rempah di abad ke – 15 sampai dengan abad ke – 19, Kerajaan Bone
dan Makassar yang perkasa berperan sebagai pintu gerbang ke pusat
penghasil rempah, Kepulauan Maluku. Sejarah itu telah memantapkan opini
bahwa Sulawesi Selatan memiliki peran yang sangat strategis bagi
perkembangan Kawasan Timur Indonesia.
Penduduk Sulawesi Selatan terdiri atas
empat suku utama yaitu Toraja, Bugis, Makassar, dan Mandar. Suku Toraja
terkenal memiliki keunikan tradisi yang tampak pada upacara kematian,
rumah tradisional yang beratap melengkung dan ukiran cantik dengan warna
natural. Sedangkan suku Bugis, Makassar dan Mandar terkenal sebagai
pelaut yang patriotik. Dengan perahu layar tradisionalnya, Pinisi,
mereka menjelajah sampai ke utara Australia, beberapa pulau di Samudra
Pasifik, bahkan sampai ke pantai Afrika.
Hasil penelitian sejarahwan Australia
Utara bernama Peter G. Spillet M, mengungkapkan salah satu fakta yang
tidak terbantahkan bahwa orang Sulawesi Selatanlah yang pertama mendarat
di Australia dan bukannya Abel Tasman (Belanda) atau James Cook
(Inggris) tahun 1642. Upaya pelurusan fakta sejarah tersebut dilakukan
Peter yang kemudian dijuluki Daeng Makulle dengan sangat hati-hati
melalui jejak, buku-buku sejarah berupa hubungan orang Makassar dengan
orang Aborigin (Merege). Orang Makassar tiba di sana dengan menggunakan
transportasi perahu.
B. Perlengkapan dan Peralatan Hidup
Dengan terciptanya peralatan untuk hidup
yang berbeda itu, maka secara perlahan tapi pasti, tatanan kehidupan
perorangan, dilanjutkan berkelompok, kemudian membentuk sebuah
masyarakat, akan penataannya bertumpu pada sifat-sifat peralatan untuk
hidup tersebut. Peralatan hidup ini dapat pula disebut sebagai hasil
manusia dalam mencipta. Dengan bahasa umum, hasil ciptaan yang berupa
peralatan fisik disebut teknologi dan proses penciptaannya dikatakan
ilmu pengetahuan dibidang teknik.
Sejak dahulu, suku Bugis di Sulawesi
Selatan terkenal sebagai pelaut yang ulung. Mereka sangat piawai dalam
mengarungi lautan dan samudera luas hingga ke berbagai kawasan di
Nusantara dengan menggunakan perahu Pinisi.
1. Perahu Pinisi
Perahu Pinisi termasuk alat transportasi
laut tradisional masyarakat Bugis yang sudah terkenal sejak
berabad-abad yang lalu. Menurut cerita di dalam naskah Lontarak I Babad
La Lagaligo, Perahu Pinisi sudah ada sekitar abad ke-14 M. Menurut
naskah tersebut, Perahu Pinisi pertama kali dibuat oleh Sawerigading,
Putra Mahkota Kerajaan Luwu. Bahan untuk membuat perahu tersebut
diambil dari pohon welengreng (pohon dewata) yang terkenal sangat kokoh
dan tidak mudah rapuh. Namun, sebelum pohon itu ditebang, terlebih
dahulu dilaksanakan upacara khusus agar penunggunya bersedia pindah ke
pohon lainnya. Sawerigading membuat perahu tersebut untuk berlayar
menuju negeri Tiongkok hendak meminang Putri Tiongkok yang bernama We
Cudai.
Singkat cerita, Sawerigading berhasil
memperistri Puteri We Cudai. Setelah beberapa lama tinggal di Tiongkok,
Sawerigading rindu kepada kampung halamannya. Dengan menggunakan
perahunya yang dulu, ia berlayar ke Luwu. Namun, ketika perahunya akan
memasuki pantai Luwu, tiba-tiba gelombang besar menghantam perahunya
hingga pecah. Pecahan-pecahan perahunya terdampar ke 3 (tiga) tempat di
wilayah Kabupaten Bulukumba, yaitu di Kelurahan Ara, Tana Beru, dan
Lemo-lemo. Oleh masyarakat dari ketiga kelurahan tersebut,
bagian-bagian perahu itu kemudian dirakit kembali menjadi sebuah perahu
yang megah dan dinamakan Perahu Pinisi.
Hingga saat ini, Kabupaten Bulukumba
masih dikenal sebagai produsen Perahu Pinisi, dimana para pengrajinnya
tetap mempertahankan tradisi dalam pembuatan perahu tersebut, terutama
di Keluharan Tana Beru.
2. Sepeda Dan Bendi.
Sepeda ataupun Dokar, koleksi Perangkat
pertanian Tadisional ini adalah bukti sejarah peradaban bahwa sejak
jaman dahulu bangsa indonesia khususnya masyarakat Sulawesi Selatan
telah dikenali sebagai masyarakat yang bercocok tanam. Mereka
menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian terutama tanaman padi
sebagai bahan makanan pokok.
3. Koleksi peralatan menempa besi dan hasilnya
Jika anda ingin mengenali lebih jauh
tentang sisi lain dari kehidupan masa lampau masyarakat Sulawesi
Selatan, maka anda dapat mengkajinya melalui koleksi trdisional menempa
besi, Hasil tempaan berupa berbagai jenis senjata tajam, baik untuk
penggunan sehari – hari maupun untuk perlengkapan upacara adat.
4. Koleksi Peralatan Tenun Tradisional
Dari koleksi Peralatan Tenun Tradisional
ini, dapat diketahui bahwa budaya menenun di Sulawesi Selatan
diperkirakan berawal dari jaman prasejarah, yakni ditemukan berbagai
jenis benda peninggalan kebudayaan dibeberapa daerah seperti leang –
leang kabupaten maros yang diperkirakan sebagai pendukung pembuat
pakaian dari kulit kayu dan serat – serat tumbuhan-tumbuhan. Ketika
pengetahuan manusia pada zaman itu mulai Berkembang mereka menemukan
cara yang lebih baik yakni alat pemintal tenun dangan bahan baku benang
kapas. Dari sinilah mulai tercipta berbagai jenis corak kain saung dan
pakaian tradisional.
5. Rumah adat
Rumah bugis memiliki keunikan tersendiri,
dibandingkan dengan rumah panggung dari suku yang lain ( Sumatera dan
Kalimantan ). Bentuknya biasanya memanjang ke belakang, dengan tanbahan
disamping bangunan utama dan bagian depan, orang bugis menyebutnya lego –
lego.
Berikut adalah bagian – bagiannya utamanya :
1. Tiang utama ( alliri ). Biasanya
terdiri dari 4 batang setiap barisnya. jumlahnya tergantung jumlah
ruangan yang akan dibuat. tetapi pada umumnya, terdiri dari 3 / 4 baris
alliri. Jadi totalnya ada 12 batang alliri.
2. Fadongko’, yaitu bagian yang bertugas sebagai penyambung dari alliri di setiap barisnya.
3. Fattoppo, yaitu bagian yang bertugas sebagai pengait paling atas dari alliri paling tengah tiap barisnya.
Mengapa orang bugis suka dengan
arsitektur rumah yang memiliki kolong ? Konon, orang bugis, jauh sebelum
islam masuk ke tanah bugis ( tana ugi’ ), orang bugis memiliki
kepercayaan bahwa alam semesta ini terdiri atas 3 bagian, bagian atas (
botting langi ), bagian tengah ( alang tengnga ) dan bagian bawagh (
paratiwi ). Mungkin itulah yang mengilhami orang bugis ( terutama yang
tinggal di kampung ) lebih suka dengan arsitektur rumah yang tinggi
Bagian – bagian dari rumah bugis ini sebagai berikut :
1. Rakkeang, adalah bagian diatas langit –
langit ( eternit ). Dahulu biasanya digunakan untuk menyimpan padi yang
baru di panen.
2. Ale Bola, adalah bagian tengah rumah.
dimana kita tinggal. Pada ale bola ini, ada titik sentral yang bernama
pusat rumah ( posi’ bola ).
3. Awa bola, adalah bagian di bawah rumah, antara lantai rumah dengan tanah.
Yang lebih menarik sebenarnya dari rumah
bugis ini adalah bahwa rumah ini dapat berdiri bahkan tanpa perlu satu
paku pun. Semuanya murni menggunakan kayu. Dan uniknya lagi adalah rumah
ini dapat di angkat / dipindah.
C. Sistem Mata Pencaharian
Wilayah Suku Bugis terletak di dataran
rendah dan pesisir pulau Sulawesi bagian selatan. Di dataran ini,
mempunyai tanah yang cukup subur, sehingga banyak masyarakat Bugis yang
hidup sebagai petani. Selain sebagai petani, Suku Bugis juga di kenal
sebagai masyarakat nelayan dan pedagang. Meskipun mereka mempunyai tanah
yang subur dan cocok untuk bercocok tanam, namun sebagian besar
masyarakat mereka adalah pelaut. Mereka mencari kehidupan dan
mempertahankan hidup dari laut. Tidak sedikit masyarakat Bugis yang
merantau sampai ke seluruh negeri dengan menggunakan Perahu Pinisi-nya.
Bahkan, kepiawaian suku Bugis dalam mengarungi samudra cukup dikenal luas hingga luar negeri, di antara wilayah perantauan mereka, seperti Malaysia, Filipina, Brunei, Thailand, Australia, Madagaskar dan Afrika Selatan. Suku Bugis memang
terkenal sebagai suku yang hidup merantau. Beberapa dari mereka, lebih
suka berkeliaran untuk berdagang dan mencoba melangsungkan hidup di
tanah orang lain. Hal ini juga disebabkan oleh faktor sejarah orang
Bugis itu sendiri di masa lalu.
D. Sistem Kekerabatan dan Organisasi Sosial
Suku Bugis merupakan suku yang menganut
sistem patron klien atau sistem kelompok kesetiakawanan antara pemimpin
dan pengikutnya yang bersifat menyeluruh. Salah satu sistem hierarki
yang sangat kaku dan rumit. Namun, mereka mempunyai mobilitas yang
sangat tinggi, buktinya dimana kita berada tak sulit berjumpa dengan
manusia Bugis. Mereka terkenal berkarakter keras dan sangat menjunjung
tinggi kehormatan, pekerja keras demi kehormatan nama keluarga.
Sedangkan untuk kekerabatan keluarga mereka menganut system cognatic
atau bilateral, seseorang ditelusuri melalui garis keturunan ayah dan
juga ibu. Panggilan yang biasa untuk kerabat mereka adalah kaka’(saudara
yang lebih tua) dan Anri’(saudara yang lebih muda). Amure’(paman) dan
Inure’(bibi). Masih banyak lagi sebutan dalam system kekerabatan mereka
yang lainnya.
Perkawinan (Siala’) berarti saling
mengambil antara satu dengan yang lain. Di suku Bugis, perkawinan
biasanya berlangsung antarkeluarga dekat atau antarkelompok petronasi
yang sama, dimaksudkan untuk pemahaman yang lebih mudah antar keluarga.
Dalam La Galigo diceritakan perkawinan dengan sepupu satu kali (istilah Jawa: misanan) dianggap terlalu panas (Siala Marola) hanya terjadi di keluarga bangsawan, supaya Darah Putih mereka
tetap terpelihara.Yang terpenting bagi mereka adalah kesesuaian derajat
antara pihak laki-laki dan perempuan. Dalam proses perkawinan, pihak
laki-laki harus memberikan mas kawin kepada perempuan (sama halnya adat
Jawa kebanyakan) yang terdiri dari dua bagian, yaitu Sompa (biasanya dalam nominal uang) dan Dui’ Menre’ (mahar permintaan dari pihak perempuan).
Sistem organisasi sosial yang terdapat di
suku Bugis cukup menarik untuk diketahui. Yaitu, kedudukan kaum
perempuan yang tidak selalu di bawah kekuasaan kaum laki-laki, bahkan di
organisasi sosial yang berbadan hukum sekalipun. Karena Suku Bugis
adalah salah satu suku di Nusantara yang menjunjung tinggi hak-hak
Perempuan. Sejak zaman dahulu, perempuan di suku Bugis sudah banyak yang
berkecimpung di bidang politik setempat.
Jadi, banyak perempuan Bugis yang berani
tampil di muka umum, mereka aktif dalam semua bidang kehidupan, menjadi
pendamping pria dalam diskusi urusan publik, tak jarang pula mereka
menduduki tahta tertinggi di kerajaan. Misalnya Raja Lipukasi pada tahun
1814 dipimpin oleh seorang perempuan. Sampai perang kemerdekaan pun,
perempuan tetap berperan aktif dalam medan laga.
Namun di lain hal, pepatah Bugis
mengatakan,”Wilayah perempuan adalah sekitar rumah sedangkan ruang gerak
laki-laki menjulang hingga ke langit”. Artinya, laki-laki lah yang
berkewajiban menafkahi keluarga dengan sekuat tenaga. Jadi kedudukan
kaum perempuan yang derajatnya hampir disamakan dengan derajat laki-laki
dalam sistem organisasi sosial, bukan berarti kaum perempuan wajib
untuk mencari nafkah bagi keluarganya melainkan seorang laki-laki lah
yang wajib bekerja keras untuk menghidupi keluarganya.
E. Bahasa
Etnik Bugis mempunyai bahasa tersendiri dikenali sebagai Bahasa Bugis (Juga dikenali sebagai Ugi). Konsonan di dalam Ugi pula di kenali sebagai Lontara yang berdasarkan tulisan Brahmi. Orang Bugis mengucapkan bahasa Ugi dan telah memiliki kesusasteraan tertulis sejak berabad-abad lamanya dalam bentuk lontar. Huruf yang dipakai adalah aksara lontara, sebuah sistem huruf yang berasal dari Sanskerta.
Seperti halnya dengan wujud-wujud
kebudayaan lainnya. Penciptaan tulisan pun diciptakan karena adanya
kebutuhan manusia untuk mengabdikan hasil-hasil pemikiran mereka.
Konsonan Lontara
Menurut Coulmas, pada awalnya tulisan
diciptakan untuk mencatatkan firman-firman tuhan, karena itu tulisan
disakralkan dan dirahasiakan. Namun dalam perjalanan waktu dengan
berbagai kompleksitas kehidupan yang dihadapi oleh manusia, maka
pemikiran manusia pun mengalami perkembangan demikian pula dengan
tulisan yang dijadikan salah satu jalan keluar untuk memecahkan problem
manusia secara umumnya. Seperti yang dikatakan oleh Coulmas “a king of
social problem solving, and any writing system as the comman solution of
a number of related problem” (1989:15)
1.Alat Untuk Pengingat
2. Memperluas jarak komunikasi
3. Sarana Untuk memindahkan Pesan Untuk Masa Yang akan dating
4. Sebagai Sistem Sosial Kontrol
5. Sebagai Media Interaksi
6. Sebagai Fungsi estetik
Lontara Bugis-Makassar merupakan sebuah
huruf yang sakral bagi masyarakat bugis klasik. Itu dikarenakan epos la
galigo di tulis menggunakan huruf lontara. Huruf lontara tidak hanya
digunakan oleh masyarakat bugis tetapi huruf lontara juga digunakan oleh
masyarakat makassar dan masyarakat luwu. Kala para penyair-penyair
bugis menuangkan fikiran dan hatinya di atas daun lontara dan dihiasi
dengan huruf-huruf yang begitu cantik sehingga tersusun kata yang apik
diatas daun lontara dan karya-karya itu bernama I La Galigo.
Begitu pula yang terjadi pada kebudayaan
di Indonesia. Ada beberapa suku bangsa yang memiliki huruf antara lain.
Budaya Jawa, Budaya Sunda, Budaya Bali, Budaya Batak, Budaya Rejang,
Budaya Melayu, Budaya Bugis Dan Budaya Makassar.
Disulawesi selatan ada 3 betuk macam huruf yang pernah dipakai secara bersamaan.
1. Huruf Lontara
1. Huruf Lontara
2. Huruf Jangang-Jangang
3. Huruf Serang
Sementara bila ditempatkan dalam kebudayaan bugis, Lontaraq mempunyai dua pngertian yang terkandung didalamnya
a. Lontaraq sebagai sejarah dan ilmu pengetahuan
b. Lontaraq sebagai tulisan
Kata lontaraq berasal dari Bahasa
Bugis/Makassar yang berarti daun lontar. Kenapa disebuat sebagai
lontaran ?, karena pada awalnya tulisan tersebut di tuliskan diatas daun
lontar. Daun lontar ini kira-kira memiliki lebar 1 cm sedangkan
panjangnya tergantung dari cerita yang dituliskan. Tiap-tiap daun lontar
disambungkan dengan memakai benang lalu digulung pada jepitan kayu,
yang bentuknya mirip gulungan pita kaset. Cara membacanya dari kiri
kekanan. Aksara lontara biasa juga disebut dengan aksara sulapaq eppaq
Karakter huruf bugis ini diambil dari Aksara Pallawa (Rekonstruksi aksara dunia yang dibuat oleh Kridalaksana).
Silsilah Aksara Dunia.
Memang terdapat bebrapa varian bantuk
huruf bugis di sulawesi selatan, tetapi itu tidaklah berarti bahwa
esensi dasar dari huruf bugis ini hilang, dan itu biasa dalam setiap
aksara didunia ini. Hanya ada perubahan dan penambahan sedikit yang sama
sekali tidak menyimpang dari bentuk dasar dari aksara tersebut. Varian
itu disebabkan antara lain
1. Penyesuaian antara bahasa dan bunyian yang diwakilinya.
2. Penyesuaian antara bentuk huruf dan sarana yang digunakan.
F. Kesenian
Makassar sesungguhnya bukan hanya nama
sebuah kota, melainkan juga sebuah identitas kultural (kebudayaan). Suku
Makassar adalah satu dari sekian banyak suku asli di Sulawesi, mendiami
wilayah bekas Kerajaan Gowa di Sulawesi Selatan bagian selatan. Ada
pula Suku Bugis yang wilayah kulturalnya menempati sebagian besar
Sulawesi Selatan bagian utara. Bugis adalah suku dengan populasi
terbesar di Sulawesi.
Kecapi
Salah satu alat musik petik tradisional
Sulawesi Selatan khususnya suku Bugis, Bugis Makassar dan Bugis Mandar.
Menurut sejarahnya kecapi ditemukan atau diciptakan oleh seorang pelaut,
sehingga bentuknya menyerupai perahu.
Musik daerah atau musik tradisional
adalah musik yang lahir dan berkembang di daerah- daerah di seluruh
Indonesia. Ciri khas pada jenis musik ini teletak pada isi lagu dan
instrumen (alat musiknya). Musik tradisi memiliki karakteristik
Hampir seluruh wilayah NKRI mempunyai
seni musik tradisional yang khusus dan khas. Dari keunikan tersebut bisa
nampak terlihat dari teknik permainannya, penyajiannya maupun
bentuk/organologi instrumen musiknya. Seni tradisonal itu sendiri
mempunyai semangat.
Alat musik ini terbuat dari bahan kayu
yang dipenuhi dengan ornamen/ukiran yang indah. Alat musik petik lainnya
yang bentuknya menyerupai sampek adalah Hapetan dari daerah Tapanuli,
Jungga dari Sulawesi Selatan.
Alat musik tradisional yang merupakan
alat musik khas Indonesia memiliki banyak ragam dari pelbagai daerah di
Indonesia, namun banyak pula dari alat musik tradisional Indonesia
‘dicuri’ oleh negara lain untuk kepentingan penambahan.
Salah satu alat musik petik tradisional
Sulawesi Selatan khususnya suku Bugis, Bugis Makassar dan Bugis Mandar.
Menurut sejarahnya kecapi ditemukan atau diciptakan oleh seorang pelaut,
sehingga bentuknya menyerupai perahu yang memiliki dua dawai, diambil
karena penemuannya dari tali layar perahu. Biasanya ditampilkan pada
acara penjemputan para tamu, perkawinan, hajatan, bahkan hiburan pada
hari ulang tahun.
Gendang
Musik perkusi yang mempunyai dua bentuk dasar yakni bulat panjang dan bundar seperti rebana.
Musik perkusi yang mempunyai dua bentuk dasar yakni bulat panjang dan bundar seperti rebana.
Suling
Suling bambu/buluh, terdiri dari tiga jenis, yaitu:
Suling bambu/buluh, terdiri dari tiga jenis, yaitu:
- Suling panjang (suling lampe), memiliki 5 lubang nada. Suling jenis ini telah punah.
- Suling calabai (Suling ponco),sering dipadukan dengan piola (biola) kecapi dan dimainkan bersama penyanyi
- Suling dupa samping (musik bambu), musik bambu masih terplihara di daerah Kecamatan Lembang. Biasanya digunakan pada acara karnaval (baris-berbaris) atau acara penjemputan tamu.
Seni Tari
- Tari pelangi; tarian pabbakkanna lajina atau biasa disebut tari meminta hujan.
- Tari Paduppa Bosara; tarian yang mengambarkan bahwa orang Bugis jika kedatangan tamu senantiasa menghidangkan bosara, sebagai tanda kesyukuran dan kehormatan.
- Tari Pattennung; tarian adat yang menggambarkan perempuan-perempuan yang sedang menenun benang menjadi kain. Melambangkan kesabaran dan ketekunan perempuan-perempuan Bugis.
- Tari Pajoge’ dan Tari Anak Masari; tarian ini dilakukan oleh calabari (waria), namun jenis tarian ini sulit sekali ditemukan bahkan dikategorikan telah punah.
- Jenis tarian yang lain adalah tari Pangayo, tari Passassa’, tari Pa’galung, dan tari Pabbatte.
G. Sistem Kepercayaan
Sejak dahulu, masyarakat Sulawesi Selatan
telah memiliki aturan tata hidup. Aturan tata hidup tersebut berkenaan
dengan, sistem pemerintahan, sistem kemasyarakatan dan sistem
kepecayaan. Orang Bugis menyebut keseluruhan sistem tersebut Pangngadereng, orang Makassar Pangadakang, Orang Luwu menyebutnya Pangngadaran, Orang Toraja Aluk To Dolo dan Orang Mandar Ada’.
Dalam hal kepercayaan penduduk Sulawesi
Selatan telah percaya kepada satu Dewa yang tunggal. Dewa yang tunggal
itu disebut dengan istilah Dewata SeuwaE (dewa yang tunggal). Terkadang pula disebut oleh orang Bugis dengan istilah PatotoE (dewa yang menentukan nasib). Orang Makassar sering menyebutnya dengan Turei A’rana (kehendak yang tinggi). Orang Mandar Puang Mase (yang maha kedendak) dan orang Toraja menyebutnya Puang Matua (Tuhan yang maha mulia).
Mereka pula mempercayai adanya dewa yang
bertahta di tempat-tempat tertentu. Seperti kepercayaan mereka tentang
dewa yang berdiam di Gunung Latimojong. Dewa tersebut mereka sebut
dengan nama Dewata Mattanrue. Dihikayatkan bahwa dewa tersebut kawin dengan Enyi’li’timo’ kemudian melahirkan PatotoE. Dewa PatotoE kemudian kawin dengan Palingo dan melahirkan Batara Guru.
Batara Guru dipercaya oleh
sebagian masyarakat Sulawesi Selatan sebagai dewa penjajah. Ia telah
menjelajahi seluruh kawasan Asia dan bermarkas di puncak Himalaya.
Kira-kira satu abad sebelum Masehi Batara Guru menuju ke Cerekang Malili dan membawa empat kasta. Keempat kasta tersebut adalah kasta Puang, kasta Pampawa Opu, kasta Attana Lang, dan kasta orang kebanyakan.
Religi suku Bugis dan Makassar pada zaman
pra islam adalah sure galigo, sebenarnya keyakinan ini telah mengandung
suatu kepercayaan pada satu dewa tunggal, biasa disebut patoto e (dia
yang menentukan nasib), dewata seuwae (tuhan tunggal), turie a rana
(kehendak yang tertinggi). Sisa kepercayaan ini masih tampak jelas pada
orang To latang dikabupaten Sidenreng Rappang dan orang Amma Towa di
Kajang kabupaten Bulukumba.
Saat agama islam masuk ke Sulawesi
Selatan pada awal ke-17, ajaran agama islam mudah diterima masyarakat.
Karena sejak dulu mereka telah percaya pada dewa tunggal. Proses
penyebaran islam dipercepat dengan adanya kontak terus menerus antara
masyarakat setempat dengan para pedagang melayu islam yang telah menetap
di Makassar.
Pada abad ke-20 karena banyak
gerakan-gerakan pemurnian ajaran islam seperti Muhammadiyah, maka ada
kecondongan untuk menganggap banyak bagian-bagian dari panngaderreng itu
sebagai syirik, tindakan yang taik sesuai dengan ajaran Islam, dan
karena itu sebaiknya ditinggalkan. Demikian Islam di Sulawesi Selatan
telah juga mengalami proses pemurnian.
Sekitar 90% dari penduduk Sulawesi
Selatan adalah pemeluk agama Islam, sedangkan hanya 10% memeluk agama
Kristen Protestan atau Katolik. Umat Kristen atau Katolik umumnya
terdiri dari pendatang-pendatang orang Maluku, Minahasa, dan lain-lain
atau dari orang Toraja. Mereka ini tinggal di kota-kota terutama di
Makassar.
Daftar Pustaka
(http://www. Desember 2009 Lingua Sastra Bugis.php)(http://www. 25.htm.php)
(http://www 3365-kehidupan-suku-bugis.html)
(http://www /Artikel/Bugis/Alat-Musik-Suku-Bugis.html)
(http://www /bugis-makassar.di.lintasan.sejarah.htm)
(http://www /Buku, Indonesia The Bugis « Aseli Bikinan Indonesia.htm)
(http:// http://www.PortalBugis.Com.htm)