Suku Toraja adalah suku yang menetap di pegunungan bagian utara Sulawesi
Selatan, Indonesia. Kata toraja berasal dari bahasa Bugis, to riaja, yang
berarti "orang yang berdiam di negeri atas". Pemerintah kolonial
Belanda menamai suku ini Toraja pada tahun 1909. Mayoritas suku Toraja memeluk
agama Kristen, sementara sebagian menganut Islam dan kepercayaan animisme yang
dikenal sebagai Aluk To Dolo. Pemerintah Indonesia telah mengakui kepercayaan
ini sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma. Suku Toraja terkenal akan ritual
pemakaman, rumah adat tongkonan dan ukiran kayunya. Dan pada kali ini saya akan
membahas tentang ritual pemakaman yang ada pada suku toraja ini.
Dalam masyarakat Toraja, upacara pemakaman merupakan ritual yang paling
penting dan berbiaya mahal. Semakin kaya dan berkuasa seseorang, maka biaya
upacara pemakamannya akan semakin mahal. Dalam agama aluk, hanya keluarga
bangsawan yang berhak menggelar pesta pemakaman yang besar. Pesta pemakaman
seorang bangsawan biasanya dihadiri oleh ratusan orang dan berlangsung selama
beberapa hari. Sebuah tempat prosesi pemakaman yang disebut rante biasanya
disiapkan pada sebuah padang rumput yang luas, selain sebagai tempat pelayat
yang hadir, juga sebagai tempat lumbung padi, dan berbagai perangkat pemakaman lainnya
yang dibuat oleh keluarga yang ditinggalkan. Musik suling, nyanyian, lagu dan
puisi, tangisan dan ratapan merupakan ekspresi duka cita yang dilakukan oleh
suku Toraja tetapi semua itu tidak berlaku untuk pemakaman anak-anak, orang
miskin, dan orang kelas rendah.
Upacara pemakaman ini kadang-kadang baru digelar setelah
berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun sejak kematian yang
bersangkutan, dengan tujuan agar keluarga yang ditinggalkan dapat mengumpulkan
cukup uang untuk menutupi biaya pemakaman. Suku Toraja percaya bahwa kematian
bukanlah sesuatu yang datang dengan tiba-tiba tetapi merupakan sebuah proses
yang bertahap menuju Puya (dunia arwah, atau akhirat). Dalam masa penungguan
itu, jenazah dibungkus dengan beberapa helai kain dan disimpan di bawah
tongkonan. Arwah orang mati dipercaya tetap tinggal di desa sampai upacara
pemakaman selesai, setelah itu arwah akan melakukan perjalanan ke Puya.
Bagian lain dari pemakaman adalah penyembelihan kerbau. Semakin berkuasa
seseorang maka semakin banyak kerbau yang disembelih. Penyembelihan dilakukan
dengan menggunakan golok. Bangkai kerbau, termasuk kepalanya, dijajarkan di
padang, menunggu pemiliknya, yang sedang dalam "masa tertidur". Suku
Toraja percaya bahwa arwah membutuhkan kerbau untuk melakukan perjalanannya dan
akan lebih cepat sampai di Puya jika ada banyak kerbau. Penyembelihan puluhan
kerbau dan ratusan babi merupakan puncak upacara pemakaman yang diringi musik
dan tarian para pemuda yang menangkap darah yang muncrat dengan ba
mbu panjang.
Sebagian daging tersebut diberikan kepada para tamu dan dicatat karena hal itu
akan dianggap sebagai utang pada keluarga almarhum.
Ada tiga cara pemakaman: Peti mati dapat disimpan di dalam gua, atau di
makam batu berukir, atau digantung di tebing. Orang kaya kadang-kadang dikubur
di makam batu berukir. Makam tersebut biasanya mahal dan waktu pembuatannya
sekitar beberapa bulan. Di beberapa daerah, gua batu digunakan untuk meyimpan
jenazah seluruh anggota keluarga. Patung kayu yang disebut tau tau biasanya
diletakkan di gua dan menghadap ke luar. Peti mati bayi atau anak-anak
digantung dengan tali di sisi tebing. Tali tersebut biasanya bertahan selama
setahun sebelum membusuk dan membuat petinya terjatuh.
Dari penguraian akan kepercayaan masyarakat Toraja (Aluk Todolo) serta
melihat dari ritual pemakaman mereka dapat disimpulkan bahwa masyarakat Toraja
(dulu) masih memakai paham Animisme dan Pemujaan Terhadap Leluhur. Animisme
yaitu suatu kepercayaan dari manusia religius, khususnya orang-orang pfrimitif,
membubuhkan jiwa pada manusia dan juga makhluk hidup atau benda mati
(kepercayaan terhadap makhluk berjiwa). Dan pemujaan terhadap Leluhur yang
dapat dirumuskan sebagai suatu kumpulan sikap, kepercayaan dan
praktik
berhubungan dengan pendewaan orang-orang yang telah meninggal dalam suatu
komunitas, khususnya dalam hubungan kekeluargaan. Dari pernyataan tersebut
dapat disimpulkan bahwa masyarakat Toraja masih menganut kedua paham ini karena
setiap ritual yang dilakukan mereka masih mengarahkannya pada Arwah nenek
Moyang mereka. Seperti pula saat masyarakat Toraja melaksanakan upacara
pemakaman, mereka membuat suatu patung (Ma’ Tau-Tau) yang dibuat sebagai
personifikasi dari seseorang yang sudah meninggal dunia yang mereka percayai
bahwa jiwa patung tersebut memiliki jiwa dari jiwa orang yang telah meninggal
tersebut (tau-tau adalah. iving dead). Bahkan orang yang telah meninggal masih
diberi makanan selayaknya orang yang yang masih hidup. Pemujaan terhadap
leluhur saya pikir berhubungan erat dengan struktur sosial karena dipercaya
dapat mengatur kehidupan para pemujanya. Agama suku (Aluk Todolo) ini jugalah
yang telah membentuk masyarakat Toraja, baik dari aturan- aturan dan undang
yang ada didalamnya. Meski banyak hal misteri yang masih terselubung didalam
Aluk Todolo ini, namun masyarakat Toraja benar-benar menghayati akan
kepercayaan yang mereka anut ini, dengan keyakinan bila dijalankan dengan baik
akan mendapat berkat dan kesejahteraan dan bila diabaikan akan mendapatkan
malapetaka.
Sumber: wandaseptianibulo.blogspot.com/2011/05/ritual-kematian-dan-kepercayaan.html?m=1
id.m.wikipedia.org/wiki/Suku_Toraja
No comments:
Post a Comment